Follow us

LightBlog

Minggu, 07 Mei 2017

ILMU KALAM-AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH AL-ASYARIYAH DAN AL-MATURIDIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang.
Di dunia ini islam telah terbagi ke dalam beberapa golongan. Golongan ini tidak sedikit jumlahnya, akan tetapi yang menarik perhatian kami untuk jadikan pembahasan dalam makalah ini adalah ahlussunah wal jama’ah. Di dalam makalah ini kami ingin membahas apa sebenarnya yang di maksut dengan ahlussunah wal jama’ah, dan prinip-prinsip yang di pegang oleh ahlussunah wal jama’ah. Di antara segi tinjauan yang memungkinkan kita bisa mengetahui siapa ahlussunnah wal jama’ah itu ialah :
Pertama, sesungguhnya mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah ahli sunnah, yakni orang-orang yang mengajarkannya, menjaganya, mengamalkannya, mengutipnya, dan membawanya baik dalam bentuk riwayat atau dirayat atau manhaj. Jadi merekalah yang paling dahulu mengenal sekaligus mengamalkan as sunnah.
Kedua, selanjutnya ialah para pengikut sahabat Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah yang menerima tongkat estafet agama dari para sahabat, yang mengutip, yang mengetahui, dan yang mengamalkannya. Mereka adalah para tabi’in dan generasi yang hidup sesudah mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat kelak. Mereka itulah sejatinya ahli sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berpegang teguh padanya, tidak membikin bid’ah macam-macam, dan tidak mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman.
Ketiga, ahli sunnah wal jama’ah, mereka adalah para salafus saleh, yakni orang-orang yang setia pada Al Qur’an dan as sunnah, yang konsisten mengamalkan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang mengikuti jejak langkah peninggalan para sahabat, para tabi’in, dan pemimpin-pemimpin pembawa petunjuk umat, yang jadi tokoh panutan dalam urusan agama, yang tidak membikin bid’ah macam-macam, yang tidak menggantinya, dan yang tidak mengada-adakan sesuatu yang tidak ada dalam agama Allah.
Menurut kami, seluruh kaum muslimin yang tetap berpegang pada fitrah aslinya dan tidak suka menuruti keinginan-keinginan nafsu serta tidak suka membikin berbagai macam bid’ah, mereka adalah ahli sunnah. Mereka mengikuti jejak langkah ulama-ulama mereka berdasarkan petunjuk yang benar. Dinamakan ahli sunnah, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang pada sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, “Kalian harus berpegang teguh pada Sunnahku .”
Adapun as sunnah ialah, syara’ atau agama, dan petunjuk lahir batin yang diterima oleh sahabat dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, lalu diterima oleh para tabi’in dari mereka, kemudian diikuti oleh para pemimpin umat dan ulama-ulama yang adil yang menjadi tokoh panutan, dan oleh orang-orang yang menempuh jalan mereka sampai hari kiamat nanti.
Berdasarkan hal inilah maka orang yang benar-benar mengikuti as sunnah disebut sebagai ahli Sunnah. Merekalah yang sosok dengan kenyataan tersebut.
Sementara nama al jama’ah, karena mereka berpegang pada pesan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk setia pada jama’ah atau kebersamaan. Mereka bersama-sama sepakat atas kebenaran, dan berpegang teguh padanya. Mereka mengikuti jejak langkah jama’ah kaum muslimin yang berpegang teguh pada as sunnah dari generasi sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka. Mengingat mereka bersama-sama bersatu dalam kebenaran, bersama-sama bersatu ikut pada jama’ah, bersama-sama bersatu taat pada pemimpin mereka, bersama-sama bersatu melakukan jihad, bersama-sama bersatu tunduk kepada para penguasa kaum muslimin, bersama-sama bersatu mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, bersama-sama bersatu mengikuti as sunnah, dan bersama-sama bersatu meninggalkan berbagai perbuatan bid’ah, perbuatan yang terdorong oleh keinginan-keinginan nafsu, serta perbuatan yang mengundang perpecahan, maka merekalah jama’ah sejati yang mendapat perhatian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
1.2  Rumusan Masalah .
1.      Apa Pengertian dari Ahlussunah Wal Jama’ah ?
2.      Bagaimana Pengertian, Sejarah dan doktrin-doktrin Asy’ariyah ?
3.      Bagaimana Pengertian, Sejarah dan doktrin-doktrin Al-Maturidiyah?
1.3  Tujuan.
1.      Untuk menjelaskan Pengertian dari Ahlussunah Wal Jama’ah.
2.      Untuk Menjelaskan Pengertian, Sejarah dan doktrin-doktrin Asy’ariyah.
3.       Untuk Menjelaskan Pengertian, Sejarah dan doktrin-doktrin Al-Maturidiyah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Ahlu sunnah wal jama,ah
Menurut istilah Ahlu sunnah wal jama’ah merupakan gabungan dari tiga kata yaitu kata Ahl, Assunnah, Aljama’ah, kata  (اهل ) yang berarti golongan, kelompok, atau komunitas. Kata السنة) ( memiliki arti yang cukup veriatif, yakni; wajah bagian atas, kening, karakter, hukum,  perjalanan, jalan yang di tempuh, dan lain lain. Sedangkan kata (الجماعة)  berarti perkumpulan  sesuatu tiga ke atas .Adapun  terminologi Ahlusunnah Wal Jama’ah, bukan merujuk kepada pengertian bahasa ataupun agama, melainkan merujuk kepada pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu ASWAJA adalah kelompok yang konsisten  menjalankan sunnah nabi SAW. Dan mentauladani para sahabat nabi dalam akidah, syariah, dan akhlaq.  Terminologi Ahlusunnah wal Jama’ah ini didasarkan pada sebuah hadis yang menyatakan bahwa hanya kelompok inilah yang selamat dari 73 perpecahan kelompok umat nabi muhammad SAW, hadist tersebut adalah: Demi tuhan yang jiwa muhammad ada dalam genggsmsn Nya, umatku akan bercerai berai kedalam 73 golongan. Yang satu masuk surga dan yang 72 masuk neraka. Ditanyakan: “siapakah mereka (golongan yang masuk surga) itu, wahai rosululloh ?”. beliau menjawab: “mereka adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah”. (HR.Tabrani). hadis yang lain menjelaskan: umat ini nantinya juga akan terpecah menjadi 73 sekte, satu yang selamat, yang lain nya dalam kerusakan. Sahabat bertanya, “siapa yang bertanya ?” nabi menjawab:     “Ahlusunnah Wal Jama’ah”. Merka bertanya kembali “siapa  Ahlusunnah Wal Jama’ah?” jawab nabi: “adalah apa yang aku dan sahabatku praktekkan hari ini.”
            Dengan pengertian terminologis demikian, ASWAJA secara rill di tengah-tengah islam terbagi menjadi tiga kelompok, pertama, Ahl Al-hadis dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni Al-Qur’an, Assunnah, ijma’ dan qiyas, kedua,para ahli al-kalam atau ahl annadhar (teologi) yang mengintergrasikan intelegensi (asshina’ah al fikriyah). Mereka adalah Asy’ariyah dengan pimpinan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Hanafiyah dipimpin oleh Abu Manshur Al-Maturidi. Sumber penalaran mereka adalah akal dengan tetap meletakkan dalil sam’iyah dalam porsinya. Ketiga, Ahl Alwijdan wa Alkasyf  (kaum- shufiyah). Sumber inspirasi mereka adalah penalaran Ahl Alhadis dan Ahl Annadhar sebagia media penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui pola kasyf dan ilham. Ketiga kelompok inilah yang paling layak disebut ASWAJA secara hakiki.
            Di Indonesia, Nadhatul Ulama’ merumuskan ASWAJA dengan dua pengertian. Pertama, ASWAJA sudah ada sejak zaman nabi, sahabat nabi, tabi’in dan assalaf ashshalih. Pendapat ini didasarkan pada pengertian bahwa ASWAJA berarti golongan yang setia pada Assunah dan Al-Jama’ah, yaitu islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bersama para sahabatnya pada zaman Nabi masih hidupdan apa yang dipraktikkan para sahabat sepeninggal beliau, terutama Khulafa’ Arrasyidin. Dari pengertian ini, ASWAJA dirumuskan sebagai: kelompok yang senantiasa konsisten dan setia mengikuti sunah nabi saw dan thariqah atau jalan para sahabatnya dalam aqidah, fiqh dan tasawuf. Kelompok ini terdiri dari para teolog (mutakallimin), ahli fiqh (fuqaha’), ahli hadist (muhadisin), dan ulama tasawuf (mutashawwifin).
            Kedua, ASWAJA adalah paham keagamaan yang muncul (dimurnikan) setelah imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi memformulasikan akidah islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Assunah. Itu sebabnya, kelompok ASWAJA juga disebut sebagai penganut paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Syaikh Murtadla Azzubaidi dalam kitab Al’ittihaf Assadah Almuttaqin, Syara’ kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali menyatakan: Ketika diucapkan secara mutlak istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dikehendaki mereka ialah kelompok penganut paham Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.
            K.H. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nadhatul Ulama menandaskan: “Ciri Ahlussunnah wal Jma’ah, adalah mereka yang ahli tauhid mengikuti Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari atau Abu Mansur Al-Maturidi: di bidang fiqh mengikuti madzhab empat: Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’I bin Idris atau Ahmad bin Hambal; dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali. ”
Dari terminologi ASWAJA seperti di atas, dapat di mengerti bahwa Ahlusunnah Wal Jama’ah merupakan istilah yang terbangun melalui nalar Urfi, untuk mencirikan umat muslim sebagai representasi dari kelompok mayoritas  ketika kondisi perpecahan paham merajalela dan di rasa perlu merapatkan barisan dan menyepakati sebuah indentitas, sebagai upaya membedakan antara yang haq dan yang bathil, antara mereka yang teguh mengikuti sunnah dan yang menyimpang dengan berbagia macam bid’ah sebagai mana yang di tekan kan rosulullah SAW. Dalm sabdanya: Rosulullah SAW bersabda, Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan selamanya. Kekuatan (pertolongan) Allah berada dalam kelompok, maka ikutilah kelompok terbesar, karna sesungguhnya seseorang yang memisahkan diri, yang memisahkan diri kedalam neraka.
Sejarah kemunculan istilah ASWAJA sebagai sebuah nama firqah (sekte) Islam, sebenarnya dipengaruhi dari perpecahan dalam Islam. Sejak peristiwa pembunuhan khalifah Islam ketiga, Ustman bin Affan, sejak itulah episode perpecahan dalam tubuh islam dimulai. Darri peristiwa ini muncul serangkaian perang antara para sahabat. Sayyidina Ali bin ABI Thalib yang menjadi khalifah pada saat itu harus berhadapan perang melawan Sayyidah Aisyah, mertuanya sendiri, yang menuntut qishas darah Ustman bin Affan. Dalam perang yang dikenal sebagai perang Jamal ini, puluhan sahabat besar dan penghafal Al-Qur’an gugur tebunuh oleh sesama muslim akibat provokasida konspirasi kaum munafik yahudi (Abdullah ibn Saba’ dkk). Berikutnya, pecah perang shiffin antara pasukan Ali berhadapan dengan pasukan Muawiyyah yang kemudian memunculkan peristiwa tahkim (arbritase). Ide tahkim dari kubuh Muawiyah menjelang kekalahan pasukannya yang disetujui Ali ini, kemudian ada perpecahan diantara pasukan Ali, yang dari sini selanjutnya melahirkan sekte Islam Syi’ah yang mendukung kebijakan Ali dan sekte Khawarij yang menolak kebijakannya.
Sejak kematian Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H, atau 66 M.  umat Islam telah terpecah setidaknya menjadi empat kelompok, Pertama, Syi’ah yang fanatik kepada Ali bin Abi Thalib dan keluarganya serta membenci Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, Kedua, Khawarij yang memusuhi bahkan mengafirkan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ketiga, Keelompok yang mengikuti Muawiyah. Dan Keempat,Sejumlah sahabat  antara lain, Ibnu Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang keilmuan keagamaan. Dari aktivitas mereka inlah selanjutnya lahoir kelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi ilmuan kepada generasi berikutnya, sehingga melahirkan tokoh-tokoh mutakallimin, muhadidstin, fuqaha, mufassirin, dan mutashawwifin. Kelompok ini berusaha mengakomodir semua kekuatan dan model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat islam.
ASWAJA sebagai sebuah sekte islam, eksistensinya semakin popular ketika Syaikh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari menyatakan keluar dari paham Mu’tazilah dan menyerang akidah paham tersebut. Sebelumnya, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari adalah seorang penganut Mu’tazilah dan menjadi murid Abu Ali Al-Jaba’I Al-Mu’tazili, seorang tokoh Mu’tazilah yang sekaligus ayah tirinya. Dalam akhir kutipan perdebatan antara Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dengan gurunya, Abu Ali Al-Jaba’I Al-Mu’tazili dalam rangka membatalkan paham Mu’tazilah, diceritakan: Abu Al-Hasan Al-Asy’ari bertanya Abu Ali Al-Jaba’I Al-Mu’tazili: “Bagaimana pendapatmu tentang tiga saudara yang meninggal dunia,yang satu adalah orang yang ta’at, yang kedua adalah orang yang durhaka, dan yang ketiga masih kecil?” Abu Ali Al-Jaba’I Al-Mu’tazili menjawab: “yang ta’at diberi pahala dan masuk surge, yang durhaka disiksa dan masuk neraka, dan yang kecil berada diantara surga dan neraka (manzilah baina manzilatain), tidak diberi pahala dan tidak disiksa”. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari bertanya: “jika yang kecil mengatakan: “Wahai Tuhanku, kenapa engkau mencabut nyawaku ketika aku masih kecil? Jika engkau biarkan aku masih hidup, aku akan ta’at dan masuk surga”, lalu bagaimana jawaban Allah?”. Abu Ali Al-Jaba’I Al-Mu’tazili menjawab: “Allah akan menjawab: “Aku maha tahu, jika engkau hidup sampai dewasa, maka engkau akan durhaka dan masuk neraka, maka yang terbaik adalah engkau mati ketika masih kecil”. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari bertanya lagi: “jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika engkau tahu aku akan durhaka, kenapa engkau tidak mencabut nyawaku ketika aku masih kecil, sehingga engkau tidak memasukkan aku ke dalam neraka?”,lalu apa yang dikatakan Allah?”Pada pertanyaan terakhir inilah Abu Ali Al-Jaba’I Al-Mu’tazili tidak sanggup menjawab untuk membela pahamnya.
Setelah Abu Ali Al-Jaba’I gagal menjawab pertanyaannya, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari lalu menyatakan keluar dari paham Mu’tazilah, dan aktif menulis kitab-kitab untuk menolak akidah Mu’tazilah dan merumuskan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dengan demikian, Aswaja adalah aliran paham keagamaan yang bercita-cita mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Aswaja menyakini bahwa wahyu bersifat ‘gaib’ dan disampaikan dalam kegaiban. Untuk tidak ada yang patut mengaku sebagai pengamal syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasulullah saw, karena beliaulah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah. Selain Rasulullah, para sahabat yang selalu dekat dan memperoleh ajaran langsung Rasulullah adalah umat Islam yang kualitas pemahaman terhadap wahyu mendekati sempurna, karena mereka tahu persis bagaimana Nabi Muhammad meemahami dan mengamalkan wahyu. Hanya merujuk kepada akidah, amaliah dan akhlak mereka inilah suatu sekte islam berhak disebut Ahlussunnah wal Jama’ah.
Apabila dewasa ini semua sekte Islam mengeklaim diri sebagai Aswaja, maka harus ditegaskan bahwa Aswaja bukanlah klaim, melainkan paham keagamaan dengan bukti kesesuaian akidah, amaliah dan akhlaknya dengan akidah, amaliah dan akhlak Rasulullah dan yang telah disepakati para sahabat di masa Khulafa’ Arrasyiddin, berdasarkan hujjah dan dalil yang bisa dipertanggung jawabkan.
2.2 ASYARIYAH
Riwayat singkat Al-Asyari Nama lengkap Al-Asy'ari adalah Abu Hasan Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin burdah bin Abi Musa Asyari Asy'ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M.  Ketika berusia lebih dari 40 tahun ia hijrah ke kota Bagdad dan wafat di sana pada  tahun 935 M.  Menurut Ibn Asakir,  Ayah Al-Asyari adalah seseorang yang masih Ahlussunnah dan Ahli Hadis.  Ia wafat ketika Al-Asy'ari masih kecil.  Sebelum wafat,  ia berwasiat kepada seorang sahabatnya bernama Zakariyah bin Yahya As-Saji agar mendidik Al Asy'ari. Ibu A-Asy ari sepeninggalan ayahnya,  menikah kembali dengan seorang tokoh mu'tazillah yang bernama Abu Ali Al jubbai'  (wafat 321 H/915 M).  berkat didikan ayah tirinya itu,  Al-Asy'ari kemudian menjadi toko Mu'tazillah.  Ia sering menggantikan Al-  Jubba'i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu'tazilah .
Selain itu banyak menulis buku yang membela alirannya.  Al-Aya'ari menganut paham Mu'tazillah hanya sampai usia 40 tahun setelah itu tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama'ah masjid Bashroh bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu'tazillah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi adalah pengakuan Al-Asy'ari telah bermimpi bertemu dengan Rosulullah saw.  Sebanyak tiga kali,  yaitu pada malam ke-10 ,20 dan 30 bulan Ramadhan.  Dalam tiga mimpinya itu Rasulullah memperingakannya agar meninggalkan paham Mu'tazilah dan membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.
 Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy'ari Formulasi pemikiran Al-Asy'ari,  secara esensial,  menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem di satu sisi dan Mu'tazillah disisi lain.  Dari segi etosnya,  pergerakan tersebut miliki semangat ortodoks.  Aktualitas formulasinya jelas menampilkan sifat yang reaksionis terhadap Mu'tazillah,  sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.  Corak pemikiran yang sintetis ini,  menurut watt barangkali dipengaruhi teologi Kullabiah(teologi sunni yang di  pelopori oleh Kullab(wafat.854 M)
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a) Tuhan dan sifat-sifatnya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihadapkan pada dua pandangan ekstrem. Di satu pihak dia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan kelompok musabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebut dalam Al-Quran, sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Dilain pihak,  ia berhadapan dengan kelompok Mu'tazillah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya.  Adapun tangan,  kaki,  telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan harus dijelaskan secara alegoris. Menghadapi semua kelompok tersebut,  Al-Asy'ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu,  seperti mempunyai tangan dan kaki dan itu tidak boleh diartikan secara harfiah,  melainkan secara simbolis(berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya Al Asy'ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampak mirip.  Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri.  tetapi sejauh menyangkut realitasnya(haqiqah)  tidak terpisah dari esensial.  Nya.  Dengan demikian,  tidak berbeda dengan-Nya.
b). Kebebasan dalam berkehendak(Free Will)
  Dalam hal apakah manusia memilih,  menentukan,  serta mengaktualisasikan perbuatannya ? Dari dua pendapat ekstrem yakni,  Jabariyah yang fatalistik dan menganut paham paradeterminisme  semata-mata dan Mu'tazillah yang manganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asy'ari membedal kholiq dan kasb.  Menurutnya Allah adalah pencipta perbuatan manusia,  sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya,  Hanya Allah lah yang mampu mencipt segala sesuatu(termasuk keinginan manusia).

c)  Akal dan Wahyu dan criteria baik dan buruk
walaupun Al Asy'ari dan orang-orang Mu'tazillah pentingnya akal dan wahyu,  tetapi mereka berbeda dalam menghadapi permasalahan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu,  Al-Asy'ari mengutamakan wahyu sedangkan Mu'taziliah mengutamakan akal.  Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.  Al-Asyari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu,  sedangkan Mu'tazillah berdasarkan akal.
 d)  Qodimnya Al-Qur'an
Al Asy'ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam persoalan kodimnya al-Quran, mu'tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur'an diciptakan(makhluk)  sehingga tidak kodim serta pandangan mazhab hanbali dan zahiriyah yang mengatakan bahwa al-Quran adalah kalam Allah(yang kodim dan tidak di ciptakan ). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf kata,  dan bunyi al-Quran adalah qodim.  Dalam rangka mendamaikan kedua Pandangan yang saling bertentangan itu,  Al-Asy'ari mengatakan bahwa walaupun al-Qur'an terdiri dari kata-kata,  huruf dan bunyi,  semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak godim.  Nasution mengatakan bahwa al-Qur'an bagi Al-Asy'ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan sama dengan ayat.
e)  Melihat Allah
Al-Asy'ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem,  terutama Zahiriyah,  yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat dan memercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy.  Selain itu,  ia tidak sependapat dengan Mu'tazillah yang mengingkari ruyatullah (melihat Allah)  di Akhirat.  Al-Asy'ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat,  tetapi tidak dapat digambar-  kan,  kemungkinan ru'yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.


f) Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy'ari dan Mu'tazillah setuju bahwa Allah itu adil.  Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan .Al-Asy'ari tidak sependapat dengan Mu'tazilah yang mengharuska Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan membari pahala kepada orang yang berbuat baik.Menurutnya allah tidak memiliki keharusan apa pun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu'tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-asyari dari visi bahwa allah adalah pemilik.
g) Kedudukan orang berdosa
Al-Asy'ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu'tazillah.  Mengingat kenyataannya bahwa iman merupakan lawan dari kafir,  predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya. Jika tidak mu'min,  ia kafir.  Oleh karena itu,  Al-Asy ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.

2.3 MATURIDIYAH
1. Riwayat Singkat Al-Maturidiyah
            Abu Mansur Al-Maturidi dilahirkan di Mutarid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilyah Trmsoxiana di Asia Tengah, daereah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak di ketahui secara pasti, hanya dipastikan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 28 H. Al-Maturidi hidup pada masa kholifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 233-274 H/847-861 M.
            Karir pendididkan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang biologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang di pandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, di antaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Makhaz Asy Syara’i, Al-Jadl, Ushul-Ushul fi Ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam, Radd Awail Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Ba’ad Ar-Rawafid, dan Kitab Radd Al-Qaramatah. Selain itu ada keterangan lain yang diduga ditulis olehnya.
2.  Pengertian Aliran Maturidiyah
            Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad.[1] Disamping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran Maturudiyah yakni Abu Mansur Al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.[2]
            Selain itu, definisi dari aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran telogi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
            Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberiakan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampui batas, [3]maksudnya aliran maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.[4]
            Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bnatuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam menafsirkan Al-Qur’an Al-Maturidi membawa ayt-ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang mukham (terang dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang mutasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang mukham. Jika seorang mukmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.[5]
            Jadi dalam Pena’wilan Al-Qur’an, Al-Maturidi sangat berhati-hati walaupun beliau menjadikan akal suatu kewajiban dalam penafsiran suatu ayat. Penulis setuju dengan sikap Al-Maturidi dalam menafsirkan ayat yang Mutasyabih, yakni dengan mencari petunjuk dari ayat yang muhkam dan dikombinasiakan dengan penalaran akal pikiran yang apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan ayat tersebut, maka orang itu dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.
Maka dari beberapa pengertian di atas, kami bisa memberikan simpulan bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama pendirinya yakni Al-Maturidi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.
3. Sejarah Aliran Maturidiyah
            Dalam buku Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Harun Nasution) menyebutkan bahwa Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertenghan kedua abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang diajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan Al-Maturidiah.[6]
            Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ketiga hijriah, di mana aliran Al-Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya adalah Nasr bin Yahya Al-Balakhi (wafat 268 H)[7]. Negri Samarkand  pada saat itu merupakan tempat diskusi dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih. Diskusi dibidang fiqih berlangsung antara pendukung madzhab Hanafi dan pendukung madzhab Syafi’i.[8]
            Selain itu, aliran Maturidiah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariyah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk meyelamatkan diri dari ekstremitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstremitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal). [9]Pada awalnya antara kedua aliran ini (Maturidiah dan Asy’ariyah) di pisahkan oleh jarak: aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiah di Samarkand dan daerah-daerah di sebrang sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu madzhab. Tampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah fiqih kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiah, dan pengikut Imam Syafi’I dan Imam Malik mendukung kaum Asy’ariah.[10]
            Memang aliran Asy’ariah lebih dulu menentang paham-paham aliran dari Mu’tazilah. Seperti yang kita ketahui, Al-Maturidiah lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah akal kemampuan manusia, Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Karena itu juga, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.
            Salah satu pengikut penting dari Al-Maturidi adalah Abu Al-Yusr Muhammad al-Badzawi (421-493 H). Nenek Al-Badzawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Badzawi mengetahui ajran-ajaran al-Maturidi dan orang tuanya. Al-Badzawi sendiri mempunyai murd-murid dan salah dari seorang mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H)[11]
            Walaupun konsep pemikiran al-Badzawi bersumber dari pemikiran al-Maturidi, tapi terdapat pemikiran-pemikiran al-Badzawi yang tidak sepaham dengan al-Maturidi. Antara pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga dapat dikatakan bahwa aliran Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Badzawi.[12]
            Dari paparan sejarah di atas, disini para penulis beropini bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran sekte Ahl al-Sunnah wal Jama’ah yang pada mulanya aliran ini berakar dari pemikiran Abu Mansur al-Maturidi. Beranjak dari pemikiran-pemikiran al-Maturidi inilah aliran ini berkembang. Sehingga pengikut aliran ini disebut aliran Maturidiyah yang diambil dari nama pendirinya sendiri. Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yakni pemikiran-pemikiran dari pendirinya (AL-Maturidi). Namun, jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu dari salah seorang murid Maturidi, al-Badzawi memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal yang berada dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Badzawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan itu tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang akhirnya disebut Maturidiyah Samarkand[13] dan pengikut al-Badzawi yang disebut Maturidiyah Bukhara.[14]
4. Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
A) Akal dan Wahyu
            Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan Asy’ariyah. Menurut Al-Maturidi, Mengetahui Tuhan dan Kewajiban Mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
            Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedang perintah atau larangan syi’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tak selalu mampu membedakan yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijalankan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi kaitan suatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan suatu itu.
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan suatu itu.
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan suatu itu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
            Tentang mengetahui kebaikan atau keburukan suatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja kalau Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan wahyu saja. Dalam persoalan ini Al-Maturidi, berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Meenurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada suatu itu sendiri. Suatu itu dipandang baik karena perintah syara’ dan dipandang buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-Asy’ari.
B) Perbuatan Manusia
            Menurut Al-Maturidi perbuatan Manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya ciptaan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula denga Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
            Dalam pemakaian masalah daya ini, membawa paham Abu, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan Ridho (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetapi ia dapat tetap memilih yang diridhoi-Nya atau tidak diridhoi-Nya. Manusia berbuat baik Al-Maturidi atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian berarti manusia dalam paham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam paham Mu’tazilah.
C) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
            Telah diuraikan diatas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan bertindak sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata. Hal ini qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu  berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang ditetapkan-Nya sendiri.
D) Sifat Tuhan
            Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asyari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti Sama’ Bashar dan sebagainya. Walaupun begitu pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan  Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan yang melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu sendiri tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama) dzat tanpa berpisah. Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian antropomorfisme karena sifat berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada berbilangnya yang qidam.
            Tampaknya paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
E) Melihat Tuhan
            Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara lain oleh firman Allah dalam surat Al-Qiyamah  ayat 22 dan 23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai sifat wujud walaupun Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di akhirat berbeda dengan keadaan di dunia.
F) Kalam Tuhan
             Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi. Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangakan kalam yang tersususn dari huruf dan suara adalah baru (hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan satu perantara.
             Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Qur’an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedang Al-Asy’ari memandang dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut mu’tazilah bukan merupakan sifatnya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadist sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an. Dalam konteks ini pendapat Al-Asy’ari juga memiliki perasamaan dengan Mu’tazilah, karena yang dimaksud dengan sabda Al-Asy’ari adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.

G) Perbuatan Manusia
            Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terwujud dalam wujud ini, kecuali semua atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendaknya sendiri. Oleh karena itu Tuhan tidak wajib berbuat ash-shalah wa al-shalah (yang terbaik dan yang terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
1. Tuhan tidak membedakan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberi juga kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2. Hukum atau ancaman terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
H) Pengutusan Rasul
            Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti mengetahui kewajiban baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari sifat yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
            Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berada dalam pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
I) Pelaku Dosa Besar
            Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdasar besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Mutiridi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau mengurangi sifatnya saja.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Aswaja adalah aliran paham keagamaan yang bercita-cita mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Aswaja menyakini bahwa wahyu bersifat ‘gaib’ dan disampaikan dalam kegaiban.
2. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy'ari Formulasi pemikiran Al-Asy'ari, secara esensial,  menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem di satu sisi dan Mu'tazillah disisi lain.  Dari segi etosnya,  pergerakan tersebut miliki semangat ortodoks.  Aktualitas formulasinya jelas menampilkan sifat yang reaksionis terhadap Mu'tazillah,  sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.  Corak pemikiran yang sintetis ini,  menurut watt barangkali dipengaruhi teologi Kullabiah(teologi sunni yang di  pelopori oleh Kullab(wafat.  854 M).
Doktrin-doktrin Asy’ariyah yaitu meliputi :
a.       Tuhan dan sifat-sifatnya
b.      Kebebasan dalam berkehendak(Free Will)
c.       Akal dan Wahyu dan criteria baik dan buruk
d.      Qodimnya Al-Qur'an
e.       Melihat Allah
f.       Keadilan
g.      Kedudukan orang berdosa

3. Aliran Matudi adalah aliran yang  menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak. Aliran Maturidiyah merupakan aliran sekte Ahl al-Sunnah wal Jama’ah yang pada mulanya aliran ini berakar dari pemikiran Abu Mansur al-Maturidi.
Doktrin-doktrin Aliran Al-Maturidiah yaitu meliputi :
a.       Akal dan Wahyu
b.      Perbuatan Manusia
c.       Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
d.      Sifat Tuhan
e.       Melihat Tuhan
f.       Kalam Tuhan
g.      Perbuatan Manusia
h.      Pengutusan Rasul
i.        Pelaku Dosa Besar




Daftar pustaka
Assmin, Yudian Wahyu. 2004. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Dahlan, Abd. Rahman dan Qarib, Ahmad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing House
Hanafi, A. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru Jakarta.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso. 2014. Sejarah Teologi Islam: Ahlussunnah wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun. 1986. Teori Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.




[1] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru Jakarta,2003) hlm. 167
[2] Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1996) hlm. 207
[3] A. Hanafi,Op. Cit.,hlm. 210
[4] Ibid.,hlm. 211
[5] Ibid., hlm. 212
[6] Harun Nasution, Teori Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 76
[7] A. Hanafi, Op. Cit., hlm 210
[8] Abd. Rahman Dahlan, Op. Cit., hlm. 212
[9] Yudian Wahyu Assmi, Aliran dan Teori FilsafaT Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hlm. 80-81
[10] Ibid., hlm.81
[11] Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 77
[12] Ibid., hlm. 78
[13] Yang menjadi golongan ini adalah pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah paham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
[14] Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Badzawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Badzawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Badzawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah Al-Badzawi selalu sefaham dengan Al-Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermadzhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat islam