BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Di dunia ini islam telah terbagi ke dalam beberapa
golongan. Golongan ini tidak sedikit jumlahnya, akan tetapi yang menarik
perhatian kami untuk jadikan pembahasan dalam makalah ini adalah ahlussunah wal
jama’ah. Di dalam makalah ini kami ingin membahas apa sebenarnya yang di maksut
dengan ahlussunah wal jama’ah, dan prinip-prinsip yang di pegang oleh
ahlussunah wal jama’ah. Di antara segi tinjauan yang memungkinkan kita bisa
mengetahui siapa ahlussunnah wal jama’ah itu ialah :
Pertama, sesungguhnya mereka adalah para sahabat
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah ahli sunnah, yakni
orang-orang yang mengajarkannya, menjaganya, mengamalkannya, mengutipnya, dan
membawanya baik dalam bentuk riwayat atau dirayat atau manhaj. Jadi merekalah
yang paling dahulu mengenal sekaligus mengamalkan as sunnah.
Kedua, selanjutnya ialah para pengikut sahabat
Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah yang menerima tongkat
estafet agama dari para sahabat, yang mengutip, yang mengetahui, dan yang
mengamalkannya. Mereka adalah para tabi’in dan generasi yang hidup sesudah
mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat
kelak. Mereka itulah sejatinya ahli sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam. Mereka berpegang teguh padanya, tidak membikin bid’ah macam-macam, dan
tidak mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman.
Ketiga, ahli sunnah wal jama’ah, mereka adalah para
salafus saleh, yakni orang-orang yang setia pada Al Qur’an dan as sunnah, yang
konsisten mengamalkan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, yang mengikuti jejak langkah peninggalan para sahabat, para tabi’in,
dan pemimpin-pemimpin pembawa petunjuk umat, yang jadi tokoh panutan dalam
urusan agama, yang tidak membikin bid’ah macam-macam, yang tidak menggantinya,
dan yang tidak mengada-adakan sesuatu yang tidak ada dalam agama Allah.
Menurut kami, seluruh kaum muslimin yang tetap
berpegang pada fitrah aslinya dan tidak suka menuruti keinginan-keinginan nafsu
serta tidak suka membikin berbagai macam bid’ah, mereka adalah ahli sunnah.
Mereka mengikuti jejak langkah ulama-ulama mereka berdasarkan petunjuk yang
benar. Dinamakan ahli sunnah, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang
pada sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, “Kalian harus berpegang
teguh pada Sunnahku .”
Adapun as sunnah ialah, syara’ atau agama, dan
petunjuk lahir batin yang diterima oleh sahabat dari Rasulullah shalallahu
alaihi wa sallam, lalu diterima oleh para tabi’in dari mereka, kemudian diikuti
oleh para pemimpin umat dan ulama-ulama yang adil yang menjadi tokoh panutan,
dan oleh orang-orang yang menempuh jalan mereka sampai hari kiamat nanti.
Berdasarkan hal inilah maka orang yang benar-benar mengikuti as sunnah disebut sebagai ahli Sunnah. Merekalah yang sosok dengan kenyataan tersebut.
Berdasarkan hal inilah maka orang yang benar-benar mengikuti as sunnah disebut sebagai ahli Sunnah. Merekalah yang sosok dengan kenyataan tersebut.
Sementara nama al jama’ah, karena mereka berpegang
pada pesan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk setia pada jama’ah atau
kebersamaan. Mereka bersama-sama sepakat atas kebenaran, dan berpegang teguh
padanya. Mereka mengikuti jejak langkah jama’ah kaum muslimin yang berpegang
teguh pada as sunnah dari generasi sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka.
Mengingat mereka bersama-sama bersatu dalam kebenaran, bersama-sama bersatu
ikut pada jama’ah, bersama-sama bersatu taat pada pemimpin mereka, bersama-sama
bersatu melakukan jihad, bersama-sama bersatu tunduk kepada para penguasa kaum
muslimin, bersama-sama bersatu mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang
mungkar, bersama-sama bersatu mengikuti as sunnah, dan bersama-sama bersatu
meninggalkan berbagai perbuatan bid’ah, perbuatan yang terdorong oleh
keinginan-keinginan nafsu, serta perbuatan yang mengundang perpecahan, maka
merekalah jama’ah sejati yang mendapat perhatian Rasulullah shalallahu alaihi
wa sallam.
1.2 Rumusan Masalah .
1.
Apa Pengertian dari Ahlussunah Wal Jama’ah ?
2.
Bagaimana Pengertian, Sejarah dan doktrin-doktrin
Asy’ariyah ?
3.
Bagaimana Pengertian, Sejarah dan doktrin-doktrin
Al-Maturidiyah?
1.3 Tujuan.
1.
Untuk menjelaskan Pengertian dari Ahlussunah Wal
Jama’ah.
2.
Untuk Menjelaskan Pengertian, Sejarah dan
doktrin-doktrin Asy’ariyah.
3. Untuk
Menjelaskan Pengertian, Sejarah dan doktrin-doktrin Al-Maturidiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ahlu sunnah wal jama,ah
Menurut istilah Ahlu sunnah wal jama’ah merupakan
gabungan dari tiga kata yaitu kata Ahl,
Assunnah, Aljama’ah, kata (اهل ) yang berarti golongan, kelompok, atau komunitas. Kata السنة) (
memiliki arti yang cukup veriatif, yakni; wajah bagian atas, kening, karakter,
hukum, perjalanan, jalan yang di tempuh,
dan lain lain. Sedangkan kata (الجماعة) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas .Adapun terminologi Ahlusunnah Wal Jama’ah,
bukan merujuk kepada pengertian bahasa ataupun agama, melainkan merujuk kepada
pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu ASWAJA
adalah kelompok yang konsisten
menjalankan sunnah nabi SAW. Dan mentauladani para sahabat nabi dalam
akidah, syariah, dan akhlaq. Terminologi
Ahlusunnah wal Jama’ah ini didasarkan pada sebuah hadis yang menyatakan bahwa
hanya kelompok inilah yang selamat dari 73 perpecahan kelompok umat nabi
muhammad SAW, hadist tersebut adalah: Demi tuhan yang jiwa muhammad ada dalam
genggsmsn Nya, umatku akan bercerai berai kedalam 73 golongan. Yang satu masuk
surga dan yang 72 masuk neraka. Ditanyakan: “siapakah mereka (golongan yang
masuk surga) itu, wahai rosululloh ?”. beliau menjawab: “mereka adalah
Ahlussunnah Wal Jama’ah”. (HR.Tabrani). hadis yang lain menjelaskan: umat
ini nantinya juga akan terpecah menjadi 73 sekte, satu yang selamat, yang lain
nya dalam kerusakan. Sahabat bertanya, “siapa yang bertanya ?” nabi menjawab: “Ahlusunnah Wal Jama’ah”. Merka bertanya
kembali “siapa Ahlusunnah Wal Jama’ah?”
jawab nabi: “adalah apa yang aku dan sahabatku praktekkan hari ini.”
Dengan pengertian terminologis demikian, ASWAJA secara
rill di tengah-tengah islam terbagi menjadi tiga kelompok, pertama, Ahl
Al-hadis dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni
Al-Qur’an, Assunnah, ijma’ dan qiyas, kedua,para ahli al-kalam atau ahl
annadhar (teologi) yang mengintergrasikan intelegensi (asshina’ah al fikriyah).
Mereka adalah Asy’ariyah dengan pimpinan Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Hanafiyah dipimpin oleh Abu Manshur Al-Maturidi. Sumber
penalaran mereka adalah akal dengan tetap meletakkan dalil sam’iyah
dalam porsinya. Ketiga, Ahl Alwijdan wa Alkasyf (kaum- shufiyah). Sumber inspirasi mereka
adalah penalaran Ahl Alhadis dan Ahl Annadhar sebagia media penghantar yang
kemudian dilanjutkan melalui pola kasyf dan ilham. Ketiga kelompok
inilah yang paling layak disebut ASWAJA secara hakiki.
Di Indonesia, Nadhatul Ulama’
merumuskan ASWAJA dengan dua pengertian. Pertama, ASWAJA sudah ada sejak
zaman nabi, sahabat nabi, tabi’in dan assalaf ashshalih. Pendapat ini
didasarkan pada pengertian bahwa ASWAJA berarti golongan yang setia pada
Assunah dan Al-Jama’ah, yaitu islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh
Rasulullah saw. Bersama para sahabatnya pada zaman Nabi masih hidupdan apa yang
dipraktikkan para sahabat sepeninggal beliau, terutama Khulafa’ Arrasyidin.
Dari pengertian ini, ASWAJA dirumuskan sebagai: kelompok yang senantiasa
konsisten dan setia mengikuti sunah nabi saw dan thariqah atau jalan para
sahabatnya dalam aqidah, fiqh dan tasawuf. Kelompok ini terdiri dari para
teolog (mutakallimin), ahli fiqh (fuqaha’), ahli hadist (muhadisin), dan ulama
tasawuf (mutashawwifin).
Kedua, ASWAJA adalah paham
keagamaan yang muncul (dimurnikan) setelah imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan
Imam Abu Manshur Al-Maturidi memformulasikan akidah islam yang sesuai dengan
Al-Qur’an dan Assunah. Itu sebabnya, kelompok ASWAJA juga disebut sebagai
penganut paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Syaikh Murtadla Azzubaidi dalam
kitab Al’ittihaf Assadah Almuttaqin, Syara’ kitab Ihya’ Ulumuddin
karya Imam Al-Ghazali menyatakan: Ketika diucapkan secara mutlak istilah
Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dikehendaki mereka ialah kelompok penganut
paham Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.
K.H. Hasyim Asy’ari pada sambutan
pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nadhatul Ulama menandaskan: “Ciri
Ahlussunnah wal Jma’ah, adalah mereka yang ahli tauhid mengikuti Imam Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari atau Abu Mansur Al-Maturidi: di bidang fiqh mengikuti
madzhab empat: Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’I bin Idris atau Ahmad
bin Hambal; dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid Al-Baghdadi
dan Imam Al-Ghazali. ”
Dari terminologi ASWAJA seperti di atas, dapat di mengerti
bahwa Ahlusunnah Wal Jama’ah merupakan istilah yang terbangun melalui nalar Urfi,
untuk mencirikan umat muslim sebagai representasi dari kelompok mayoritas ketika kondisi perpecahan paham merajalela
dan di rasa perlu merapatkan barisan dan menyepakati sebuah indentitas, sebagai
upaya membedakan antara yang haq dan yang bathil, antara mereka yang teguh
mengikuti sunnah dan yang menyimpang dengan berbagia macam bid’ah sebagai mana
yang di tekan kan rosulullah SAW. Dalm sabdanya: Rosulullah SAW bersabda,
Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan selamanya. Kekuatan
(pertolongan) Allah berada dalam kelompok, maka ikutilah kelompok terbesar,
karna sesungguhnya seseorang yang memisahkan diri, yang memisahkan diri kedalam
neraka.
Sejarah kemunculan istilah ASWAJA sebagai sebuah nama
firqah (sekte) Islam, sebenarnya dipengaruhi dari perpecahan dalam Islam. Sejak
peristiwa pembunuhan khalifah Islam ketiga, Ustman bin Affan, sejak itulah
episode perpecahan dalam tubuh islam dimulai. Darri peristiwa ini muncul
serangkaian perang antara para sahabat. Sayyidina Ali bin ABI Thalib yang
menjadi khalifah pada saat itu harus berhadapan perang melawan Sayyidah Aisyah,
mertuanya sendiri, yang menuntut qishas darah Ustman bin Affan. Dalam perang
yang dikenal sebagai perang Jamal ini, puluhan sahabat besar dan penghafal
Al-Qur’an gugur tebunuh oleh sesama muslim akibat provokasida konspirasi kaum
munafik yahudi (Abdullah ibn Saba’ dkk). Berikutnya, pecah perang shiffin
antara pasukan Ali berhadapan dengan pasukan Muawiyyah yang kemudian
memunculkan peristiwa tahkim (arbritase). Ide tahkim dari kubuh Muawiyah
menjelang kekalahan pasukannya yang disetujui Ali ini, kemudian ada perpecahan
diantara pasukan Ali, yang dari sini selanjutnya melahirkan sekte Islam Syi’ah
yang mendukung kebijakan Ali dan sekte Khawarij yang menolak kebijakannya.
Sejak kematian Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H,
atau 66 M. umat Islam telah terpecah
setidaknya menjadi empat kelompok, Pertama, Syi’ah yang fanatik kepada
Ali bin Abi Thalib dan keluarganya serta membenci Mu’awiyah ibn Abi Sufyan,
Kedua, Khawarij yang memusuhi bahkan mengafirkan Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah. Ketiga, Keelompok yang mengikuti Muawiyah. Dan Keempat,Sejumlah
sahabat antara lain, Ibnu Umar, Ibn
Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan
menekuni bidang keilmuan keagamaan. Dari aktivitas mereka inlah selanjutnya
lahoir kelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi ilmuan kepada generasi
berikutnya, sehingga melahirkan tokoh-tokoh mutakallimin, muhadidstin,
fuqaha, mufassirin, dan mutashawwifin. Kelompok ini berusaha mengakomodir
semua kekuatan dan model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh
mayoritas umat islam.
ASWAJA sebagai sebuah sekte islam, eksistensinya semakin
popular ketika Syaikh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari menyatakan keluar dari paham
Mu’tazilah dan menyerang akidah paham tersebut. Sebelumnya, Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari adalah seorang penganut Mu’tazilah dan menjadi murid Abu Ali
Al-Jaba’I Al-Mu’tazili, seorang tokoh Mu’tazilah yang sekaligus ayah tirinya.
Dalam akhir kutipan perdebatan antara Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dengan gurunya,
Abu Ali Al-Jaba’I Al-Mu’tazili dalam rangka membatalkan paham Mu’tazilah,
diceritakan: Abu Al-Hasan Al-Asy’ari bertanya Abu Ali Al-Jaba’I Al-Mu’tazili: “Bagaimana
pendapatmu tentang tiga saudara yang meninggal dunia,yang satu adalah orang
yang ta’at, yang kedua adalah orang yang durhaka, dan yang ketiga masih kecil?”
Abu Ali Al-Jaba’I Al-Mu’tazili menjawab: “yang ta’at diberi pahala dan masuk
surge, yang durhaka disiksa dan masuk neraka, dan yang kecil berada diantara
surga dan neraka (manzilah baina manzilatain), tidak diberi pahala dan tidak
disiksa”. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari bertanya: “jika yang kecil mengatakan:
“Wahai Tuhanku, kenapa engkau mencabut nyawaku ketika aku masih kecil? Jika
engkau biarkan aku masih hidup, aku akan ta’at dan masuk surga”, lalu bagaimana
jawaban Allah?”. Abu Ali Al-Jaba’I Al-Mu’tazili menjawab: “Allah akan
menjawab: “Aku maha tahu, jika engkau hidup sampai dewasa, maka engkau akan
durhaka dan masuk neraka, maka yang terbaik adalah engkau mati ketika masih
kecil”. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari bertanya lagi: “jika yang mati dalam
keadaan durhaka mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika engkau tahu aku akan durhaka,
kenapa engkau tidak mencabut nyawaku ketika aku masih kecil, sehingga engkau
tidak memasukkan aku ke dalam neraka?”,lalu apa yang dikatakan Allah?”Pada
pertanyaan terakhir inilah Abu Ali Al-Jaba’I Al-Mu’tazili tidak sanggup
menjawab untuk membela pahamnya.
Setelah Abu Ali Al-Jaba’I gagal menjawab
pertanyaannya, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari lalu menyatakan keluar dari paham
Mu’tazilah, dan aktif menulis kitab-kitab untuk menolak akidah Mu’tazilah dan
merumuskan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dengan demikian, Aswaja adalah aliran paham keagamaan
yang bercita-cita mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang
dikehendaki oleh Allah. Aswaja menyakini bahwa wahyu bersifat ‘gaib’ dan
disampaikan dalam kegaiban. Untuk tidak ada yang patut mengaku sebagai pengamal
syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasulullah saw, karena beliaulah
yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah. Selain Rasulullah, para
sahabat yang selalu dekat dan memperoleh ajaran langsung Rasulullah adalah umat
Islam yang kualitas pemahaman terhadap wahyu mendekati sempurna, karena mereka
tahu persis bagaimana Nabi Muhammad meemahami dan mengamalkan wahyu. Hanya
merujuk kepada akidah, amaliah dan akhlak mereka inilah suatu sekte islam
berhak disebut Ahlussunnah wal Jama’ah.
Apabila dewasa ini semua sekte Islam mengeklaim diri
sebagai Aswaja, maka harus ditegaskan bahwa Aswaja bukanlah klaim, melainkan
paham keagamaan dengan bukti kesesuaian akidah, amaliah dan akhlaknya dengan
akidah, amaliah dan akhlak Rasulullah dan yang telah disepakati para sahabat di
masa Khulafa’ Arrasyiddin, berdasarkan hujjah dan dalil yang bisa
dipertanggung jawabkan.
2.2
ASY’ARIYAH
Riwayat singkat Al-Asyari Nama lengkap Al-Asy'ari adalah
Abu Hasan Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin burdah bin Abi
Musa Asyari Asy'ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun ia hijrah
ke kota Bagdad dan wafat di sana pada
tahun 935 M. Menurut Ibn Asakir, Ayah Al-Asyari adalah seseorang yang masih
Ahlussunnah dan Ahli Hadis. Ia wafat
ketika Al-Asy'ari masih kecil. Sebelum
wafat, ia berwasiat kepada seorang
sahabatnya bernama Zakariyah bin Yahya As-Saji agar mendidik Al Asy'ari. Ibu
A-Asy ari sepeninggalan ayahnya, menikah
kembali dengan seorang tokoh mu'tazillah yang bernama Abu Ali Al jubbai' (wafat 321 H/915 M). berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy'ari kemudian menjadi toko Mu'tazillah. Ia sering menggantikan Al- Jubba'i dalam perdebatan menentang
lawan-lawan Mu'tazilah .
Selain itu banyak menulis buku yang membela
alirannya. Al-Aya'ari menganut paham
Mu'tazillah hanya sampai usia 40 tahun setelah itu tiba-tiba ia mengumumkan di
hadapan jama'ah masjid Bashroh bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu'tazillah
dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang
melatarbelakangi adalah pengakuan Al-Asy'ari telah bermimpi bertemu dengan
Rosulullah saw. Sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10 ,20 dan 30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu Rasulullah
memperingakannya agar meninggalkan paham Mu'tazilah dan membela paham yang
telah diriwayatkan dari beliau.
Doktrin-doktrin
Teologi Al-Asy'ari Formulasi pemikiran Al-Asy'ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara
formulasi ortodoks ekstrem di satu sisi dan Mu'tazillah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut miliki semangat
ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas
menampilkan sifat yang reaksionis terhadap Mu'tazillah, sebuah reaksi yang tidak dapat
dihindarinya. Corak pemikiran yang
sintetis ini, menurut watt barangkali
dipengaruhi teologi Kullabiah(teologi sunni yang di pelopori oleh Kullab(wafat.854 M)
Pemikiran-pemikiran
Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a)
Tuhan dan sifat-sifatnya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai
sifat-sifat Allah tak dapat dihadapkan pada dua pandangan ekstrem. Di satu
pihak dia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan
kelompok musabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat
yang disebut dalam Al-Quran, sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut
arti harfiahnya. Dilain pihak, ia
berhadapan dengan kelompok Mu'tazillah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah
tidak lain selain esensi-Nya. Adapun
tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak
boleh diartikan secara harfiah melainkan harus dijelaskan secara alegoris. Menghadapi semua kelompok tersebut, Al-Asy'ari berpendapat bahwa Allah memang
memiliki sifat-sifat itu, seperti
mempunyai tangan dan kaki dan itu tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis(berbeda dengan
kelompok sifatiah). Selanjutnya Al Asy'ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah
itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang
tampak mirip. Sifat-sifat Allah berbeda
dengan Allah sendiri. tetapi sejauh
menyangkut realitasnya(haqiqah) tidak
terpisah dari esensial. Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
b).
Kebebasan dalam berkehendak(Free Will)
Dalam hal apakah
manusia memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya ? Dari
dua pendapat ekstrem yakni, Jabariyah
yang fatalistik dan menganut paham paradeterminisme semata-mata dan Mu'tazillah yang manganut
paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya
sendiri. Al-Asy'ari membedal kholiq dan kasb.
Menurutnya Allah adalah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya, Hanya Allah lah yang
mampu mencipt segala sesuatu(termasuk keinginan manusia).
c) Akal dan Wahyu dan criteria baik dan buruk
walaupun Al Asy'ari dan orang-orang Mu'tazillah
pentingnya akal dan wahyu, tetapi mereka
berbeda dalam menghadapi permasalahan yang memperoleh penjelasan kontradiktif
dari akal dan wahyu, Al-Asy'ari
mengutamakan wahyu sedangkan Mu'taziliah mengutamakan akal. Dalam menentukan
baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asyari berpendapat bahwa baik dan buruk
harus berdasarkan wahyu, sedangkan
Mu'tazillah berdasarkan akal.
d) Qodimnya Al-Qur'an
Al Asy'ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam
persoalan kodimnya al-Quran, mu'tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur'an
diciptakan(makhluk) sehingga tidak kodim
serta pandangan mazhab hanbali dan zahiriyah yang mengatakan bahwa al-Quran
adalah kalam Allah(yang kodim dan tidak di ciptakan ). Zahiriyah bahkan
berpendapat bahwa semua huruf kata, dan
bunyi al-Quran adalah qodim. Dalam
rangka mendamaikan kedua Pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy'ari mengatakan bahwa walaupun al-Qur'an
terdiri dari kata-kata, huruf dan
bunyi, semua itu tidak melekat pada
esensi Allah dan karenanya tidak godim.
Nasution mengatakan bahwa al-Qur'an bagi Al-Asy'ari tidaklah diciptakan
sebab kalau ia diciptakan sama dengan ayat.
e) Melihat
Allah
Al-Asy'ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks
ekstrem, terutama Zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di
Akhirat dan memercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu,
ia tidak sependapat dengan Mu'tazillah yang mengingkari ruyatullah
(melihat Allah) di Akhirat. Al-Asy'ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di
Akhirat, tetapi tidak dapat digambar- kan,
kemungkinan ru'yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan
dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk
melihat-Nya.
f) Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy'ari dan Mu'tazillah setuju bahwa
Allah itu adil. Mereka hanya berbeda
dalam memandang makna keadilan .Al-Asy'ari tidak sependapat dengan Mu'tazilah
yang mengharuska Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang
salah dan membari pahala kepada orang yang berbuat baik.Menurutnya allah tidak
memiliki keharusan apa pun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian,
jelaslah bahwa Mu'tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki
dirinya, sedangkan Al-asyari dari visi bahwa allah adalah pemilik.
g) Kedudukan orang berdosa
Al-Asy'ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut
Mu'tazillah. Mengingat kenyataannya
bahwa iman merupakan lawan dari kafir,
predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya. Jika tidak
mu'min, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy ari berpendapat bahwa mukmin yang
berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang
karena dosa selain kufur.
2.3
MATURIDIYAH
1.
Riwayat Singkat Al-Maturidiyah
Abu Mansur Al-Maturidi dilahirkan di
Mutarid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilyah Trmsoxiana di Asia
Tengah, daereah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak di
ketahui secara pasti, hanya dipastikan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah.
Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama
Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 28 H. Al-Maturidi hidup pada
masa kholifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 233-274 H/847-861 M.
Karir pendididkan Al-Maturidi lebih
dikonsentrasikan untuk menekuni bidang biologi dari pada fiqih. Ini dilakukan
untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi paham-paham teologi yang banyak
berkembang dalam masyarakat Islam, yang di pandangnya tidak sesuai dengan
kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya banyak
dituangkan dalam bentuk karya tulis, di antaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil
Al-Qur’an, Makhaz Asy Syara’i, Al-Jadl, Ushul-Ushul fi Ad-Din, Maqalat fi
Al-Ahkam, Radd Awail Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah
li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Ba’ad Ar-Rawafid, dan Kitab
Radd Al-Qaramatah. Selain itu ada keterangan lain yang diduga ditulis
olehnya.
2.
Pengertian Aliran Maturidiyah
Berdasarkan
buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama
pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad.[1]
Disamping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib
menjelaskan bahwa pendiri aliran Maturudiyah yakni Abu Mansur Al-Maturidi,
kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.[2]
Selain itu, definisi dari aliran
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi
yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami.
Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran telogi dalam Islam
yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli
Sunnah Wal Jama’ah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir
dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberiakan otoritas
yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampui batas, [3]maksudnya
aliran maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang
tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan
syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.[4]
Berdasarkan prinsip pendiri aliran
Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu kewajiban melakukan penalaran
akal disertai bnatuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam menafsirkan
Al-Qur’an Al-Maturidi membawa ayt-ayat yang mutasyabih (samar maknanya)
pada makna yang mukham (terang dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan
yang mutasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang mukham.
Jika seorang mukmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka
bersikap menyerah adalah lebih selamat.[5]
Jadi dalam Pena’wilan Al-Qur’an,
Al-Maturidi sangat berhati-hati walaupun beliau menjadikan akal suatu kewajiban
dalam penafsiran suatu ayat. Penulis setuju dengan sikap Al-Maturidi dalam
menafsirkan ayat yang Mutasyabih, yakni dengan mencari petunjuk dari
ayat yang muhkam dan dikombinasiakan dengan penalaran akal pikiran yang
apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan ayat tersebut, maka orang itu
dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.
Maka dari beberapa pengertian di atas, kami bisa
memberikan simpulan bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya
diambil dari nama pendirinya yakni Al-Maturidi. Aliran ini menggunakan akal
dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal
yang mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan
syara’, maka itu ditolak.
3.
Sejarah Aliran Maturidiyah
Dalam
buku Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Harun
Nasution) menyebutkan bahwa Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud
Al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertenghan kedua abad ke sembilan Masehi
dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya.
Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya
dengan paham-paham yang diajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang
ditimbulkan Abu Mansur termasuk golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan
Al-Maturidiah.[6]
Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu
pada pertiga terakhir dari abad ketiga hijriah, di mana aliran Al-Mu’tazilah
sudah mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya adalah Nasr bin Yahya
Al-Balakhi (wafat 268 H)[7].
Negri Samarkand pada saat itu merupakan
tempat diskusi dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih. Diskusi dibidang fiqih
berlangsung antara pendukung madzhab Hanafi dan pendukung madzhab Syafi’i.[8]
Selain itu, aliran Maturidiah
merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah al-Jama’ah yang tampil bersama
dengan Asy’ariyah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak
yang menyerukan untuk meyelamatkan diri dari ekstremitas kaum rasionalis di
mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstremitas
kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum
Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal). [9]Pada
awalnya antara kedua aliran ini (Maturidiah dan Asy’ariyah) di pisahkan oleh
jarak: aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir,
sedangkan aliran Maturidiah di Samarkand dan daerah-daerah di sebrang sungai
(Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk
satu madzhab. Tampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai
masalah-masalah fiqih kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk
berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi)
membentengi aliran Maturidiah, dan pengikut Imam Syafi’I dan Imam Malik
mendukung kaum Asy’ariah.[10]
Memang aliran Asy’ariah lebih dulu
menentang paham-paham aliran dari Mu’tazilah. Seperti yang kita ketahui,
Al-Maturidiah lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh
dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi yang amat
mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang
menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah akal kemampuan manusia, Maka
dari itu, Al-Maturidi melibatkan dalam pertentangan itu dengan mengajukan
pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran
Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Karena itu juga, aliran Maturidiyah sering disebut
“berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.
Salah satu pengikut penting dari
Al-Maturidi adalah Abu Al-Yusr Muhammad al-Badzawi (421-493 H). Nenek
Al-Badzawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Badzawi mengetahui
ajran-ajaran al-Maturidi dan orang tuanya. Al-Badzawi sendiri mempunyai
murd-murid dan salah dari seorang mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi
(460-537 H)[11]
Walaupun konsep pemikiran al-Badzawi
bersumber dari pemikiran al-Maturidi, tapi terdapat pemikiran-pemikiran
al-Badzawi yang tidak sepaham dengan al-Maturidi. Antara pemuka aliran
Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga dapat dikatakan bahwa aliran
Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut
al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Badzawi.[12]
Dari paparan sejarah di atas, disini
para penulis beropini bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran sekte Ahl
al-Sunnah wal Jama’ah yang pada mulanya aliran ini berakar dari pemikiran Abu
Mansur al-Maturidi. Beranjak dari pemikiran-pemikiran al-Maturidi inilah aliran
ini berkembang. Sehingga pengikut aliran ini disebut aliran Maturidiyah yang
diambil dari nama pendirinya sendiri. Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada
satu kiblat yakni pemikiran-pemikiran dari pendirinya (AL-Maturidi). Namun,
jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu dari salah seorang murid
Maturidi, al-Badzawi memberikan pemahaman yang bertentangan dengan
pemikiran-pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal yang berada dalam konsep
ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Badzawi itu sendiri.
Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan itu tersebut, aliran Maturidiyah
terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang
akhirnya disebut Maturidiyah Samarkand[13]
dan pengikut al-Badzawi yang disebut Maturidiyah Bukhara.[14]
4.
Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
A)
Akal dan Wahyu
Dalam
pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam
hal ini ia sama dengan Asy’ariyah. Menurut Al-Maturidi, Mengetahui Tuhan dan
Kewajiban Mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam
kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar
memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan
dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mampu untuk memperoleh
pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk
melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman
dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang
diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu
mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk,
Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak
pada suatu itu sendiri, sedang perintah atau larangan syi’ah hanyalah mengikuti
ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tak
selalu mampu membedakan yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu
mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu
diperlukan untuk dijalankan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi kaitan
suatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1.
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan suatu itu.
2.
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan suatu itu.
3.
Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan suatu itu, kecuali dengan petunjuk
ajaran wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan atau
keburukan suatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya
saja kalau Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan
meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa
kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan wahyu saja. Dalam persoalan
ini Al-Maturidi, berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Meenurut Al-Asy’ari, baik
atau buruk itu tidak terdapat pada suatu itu sendiri. Suatu itu dipandang baik
karena perintah syara’ dan dipandang buruk karena larangan Allah. Pada konteks
ini Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-Asy’ari.
B)
Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan
Manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah
ciptaan-Nya. Khusus perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak
Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya. Dalam hal ini, Al-Maturidi
mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat
Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb)
dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan
bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan
antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar
yang ada pada manusia. Kemudian karena daya ciptaan dalam diri manusia dan
perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang
sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi,
Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang
bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula denga Mu’tazilah
yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu
sendiri.
Dalam pemakaian masalah daya ini,
membawa paham Abu, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan Ridho (kerelaan).
Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam
kehendak Tuhan, tetapi ia dapat tetap memilih yang diridhoi-Nya atau tidak
diridhoi-Nya. Manusia berbuat baik Al-Maturidi atas kehendak dan kerelaan
Tuhan, dan berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya.
Dengan demikian berarti manusia dalam paham Al-Maturidi tidak sebebas manusia
dalam paham Mu’tazilah.
C)
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Telah diuraikan diatas bahwa
perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk
adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan
berarti bahwa Tuhan berbuat dan bertindak sewenang-wenang serta sekehendak-Nya
semata. Hal ini qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi
perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang ditetapkan-Nya
sendiri.
D)
Sifat Tuhan
Berkaitan
dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dan
Al-Asyari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat,
seperti Sama’ Bashar dan sebagainya. Walaupun begitu pengertian
Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan
Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu
yang bukan dzat, melainkan yang melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu sendiri tidak dikatakan sebagai
esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah
(ada bersama) dzat tanpa berpisah. Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus
membawanya pada pengertian antropomorfisme karena sifat berwujud tersendiri
dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada berbilangnya
yang qidam.
Tampaknya paham Al-Maturidi tentang
makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya
terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan sedangkan
Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
E)
Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia
dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara lain oleh
firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat
22 dan 23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat
dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai sifat wujud walaupun Ia
immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena
keadaan di akhirat berbeda dengan keadaan di dunia.
F)
Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang
tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi. Kalam nafsi adalah sifat
qadim bagi Allah, sedangakan kalam yang tersususn dari huruf dan suara adalah
baru (hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan satu
perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang
Al-Qur’an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedang
Al-Asy’ari memandang dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut mu’tazilah
bukan merupakan sifatnya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-Qur’an sebagai sabda
Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan tidak bersifat kekal.
Pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka
menggunakan istilah hadist sebagai pengganti makhluk untuk
sebutan Al-Qur’an. Dalam konteks ini pendapat Al-Asy’ari juga memiliki
perasamaan dengan Mu’tazilah, karena yang dimaksud dengan sabda Al-Asy’ari
adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu
memang sifat kekal Tuhan.
G)
Perbuatan Manusia
Menurut
Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terwujud dalam wujud ini, kecuali semua
atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan,
kecuali ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendaknya sendiri. Oleh
karena itu Tuhan tidak wajib berbuat ash-shalah wa al-shalah (yang
terbaik dan yang terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat
mencipta atau kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
1. Tuhan tidak membedakan kewajiban-kewajiban kepada
manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan,
dan manusia diberi juga kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan
perbuatannya.
2. Hukum atau ancaman terjadi karena merupakan
tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
H)
Pengutusan Rasul
Akal
tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia,
seperti mengetahui kewajiban baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari sifat
yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al-Maturidi, akal
memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban
tersebut. Jadi pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa
mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan
sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh
berada dalam pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke
tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik
dan terbaik dalam kehidupannya.
I)
Pelaku Dosa Besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa
orang yang berdasar besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun
ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena tuhan telah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam
neraka adalah balasan untuk orang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat
dosa selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh
karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang
kafir atau murtad. Menurut Al-Mutiridi, iman itu cukup dengan tashdiq
dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu,
amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau
mengurangi sifatnya saja.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Aswaja adalah aliran paham keagamaan
yang bercita-cita mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang
dikehendaki oleh Allah. Aswaja menyakini bahwa wahyu bersifat ‘gaib’ dan
disampaikan dalam kegaiban.
2.
Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy'ari Formulasi pemikiran
Al-Asy'ari, secara
esensial, menampilkan sebuah upaya
sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem di satu sisi dan Mu'tazillah disisi
lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut miliki semangat
ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas
menampilkan sifat yang reaksionis terhadap Mu'tazillah, sebuah reaksi yang tidak dapat
dihindarinya. Corak pemikiran yang
sintetis ini, menurut watt barangkali
dipengaruhi teologi Kullabiah(teologi sunni yang di pelopori oleh Kullab(wafat. 854 M).
Doktrin-doktrin
Asy’ariyah yaitu meliputi :
a.
Tuhan dan sifat-sifatnya
b. Kebebasan dalam berkehendak(Free Will)
c.
Akal dan Wahyu dan criteria baik dan buruk
d.
Qodimnya Al-Qur'an
e. Melihat Allah
f.
Keadilan
g. Kedudukan orang berdosa
3.
Aliran Matudi adalah aliran yang menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau
penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila
terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.
Aliran Maturidiyah merupakan aliran sekte Ahl al-Sunnah wal Jama’ah yang pada
mulanya aliran ini berakar dari pemikiran Abu Mansur al-Maturidi.
Doktrin-doktrin
Aliran Al-Maturidiah yaitu meliputi :
a. Akal dan Wahyu
b. Perbuatan Manusia
c.
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
d. Sifat Tuhan
e. Melihat Tuhan
f.
Kalam Tuhan
g. Perbuatan Manusia
h.
Pengutusan Rasul
i.
Pelaku Dosa Besar
Daftar
pustaka
Assmin,
Yudian Wahyu. 2004. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Dahlan,
Abd. Rahman dan Qarib, Ahmad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta:
Logos Publishing House
Hanafi,
A. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru Jakarta.
Kristeva,
Nur Sayyid Santoso. 2014. Sejarah Teologi Islam: Ahlussunnah wal Jama’ah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution,
Harun. 1986. Teori Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:
UI-Press.
[1] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka
Al-Husna Baru Jakarta,2003) hlm. 167
[2] Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah
dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1996) hlm. 207
[3] A. Hanafi,Op. Cit.,hlm. 210
[4] Ibid.,hlm. 211
[5] Ibid., hlm. 212
[6] Harun Nasution, Teori Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 76
[7] A. Hanafi, Op. Cit., hlm 210
[8] Abd. Rahman Dahlan, Op. Cit., hlm. 212
[9] Yudian Wahyu Assmi, Aliran dan Teori FilsafaT Islam
(Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hlm. 80-81
[10] Ibid., hlm.81
[11] Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 77
[12] Ibid., hlm. 78
[13] Yang menjadi golongan ini adalah pengikut Al-Maturidi sendiri.
Golongan ini cenderung ke arah paham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya
tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat
dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya.
Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
[14] Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Badzawi. Dia
merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya. Nenek Al-Badzawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang
dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Badzawi dalam
aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah
Al-Badzawi selalu sefaham dengan Al-Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh
umat islam yang bermadzhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran
Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat islam